novel Catatan Hati Seorang Isteri

Catatan Hati Seorang Isteri

Julukan kepada si istri yang bersalah pun diberikan.

Salah seorang kerabat bahkan sempat memanggil dengan sebutan (maaf ) ‘kuntilanak’ ketika anak-anak yang kehilangan sosok ibunya, bertanya tentang keberadaan ibu mereka.

“Kuntilanak itu nggak usah ditanya-tanya. Udah pergi!”

Hati saya terluka mendengar kalimat itu. Luka yang sama ketika saya menemukan seorang teman yang mencoba mewariskan kemarahan dan kekecewaannya setelah sang suami serong dengan perempuan lain.

“Pokoknya Mama nggak mau kamu terima telepon Papa.
Papa sudah tidak sayang sama kita. Papa sudah punya keluarga lain. Ngerti?”

Kejadian itu tertanam di benak saya. Kemarahan memang kerap membuat kita kehilangan akal sehat….

kemampuan untuk berpikir jernih dan melakukan hal yang benar. Begitu kuatnya kejadian ini hingga suatu malam saya mengajak suami sama-sama berjanji.

“Bunda ingin ayah berjanji,” ujar saya sungguh-sungguh.
Semula suami tidak terlalu menanggapi, sampai saya melanjutkan kalimat,

“Bunda ingin ayah berjanji, jika kita bercerai…”

“Ya?”

Saya menyusun kalimat. Kami tidak ada masalah, bagaimana agar saya tidak terlihat aneh sebab tiba-tiba mengangkat persoalan serius ini dalam percakapan kami.

“Bunda ingin ayah berjanji, siapa pun yang bersalah…

maka hanya kita berdua yang tahu. Jika ayah yang salah, hanya bunda yang tahu. Begitu-pun sebaliknya.” Suami menoleh dan memandang lembut ke arah saya,

“Kenapa bunda tiba-tiba ngomong begitu?” Kenapa?

Kemarahan, kebencian, sikap saling tuduh dan menyerang itu mampir lagi di ingatan. Juga kejadian perselingkuhan yang berakibat perceraian yang dialami saudara kami baru-baru ini, seperti slideshow yang berulang-ulang ditayangkan.

“Sebab, ketika masalah diketahui orang lain, maka akan menyebar dan menimbulkan kemarahan yang luas. Bunda nggak ingin kalimat-kalimat jelek nantinya sampai ke telinga anak-anak.”

Suami tampak tercenung. Saya lega ketika dia akhirnya mengangguk,

“Ayah janji.”
“Bunda juga janji…”

Kami berdua tidak bisa menebak takdir di masa depan.

Apakah pernikahan kami akan langgeng hingga kematian memisahkan, atau tidak. Tetapi kami samasama mengerti: Cinta pada pasangan bisa hilang.

Suami istri bisa berpisah dan berakhir di perceraian.

Tetapi tidak ada yang bisa memutus hubungan yang sudah terjalin di antara orang tua dan anak. Dan karenanya, tidak ada seorang pun yang berhak merusak kenangan indah yang dimiliki anak-anak tentang ayah bunda mereka.
Rumah, Agustus 2002
Baca cerita silat dan novel online

Catatan 5
Lagi, Pertanyaan Untuk Lelaki


Bagaimana lelaki bisa begitu mudah meniduri perempuan yang tidak dikenalnya?

Pertanyaan ini meloncat-loncat di benak saya, ketika suatu malam bersama seorang teman mengunjungi sebuah lokalisasi pelacuran di bilangan Tanah Abang.

Negosiasi yang tidak mudah antara si teman dengan
‘Papi’ yang mengelola pelacuran tersebut. Permohonan saya untuk bisa melihat komplek pelacuran dari dekat rupanya diterima dengan curiga oleh Papi.

“Dia polisi, ya?”
Teman saya menggeleng dan mencoba meyakinkan bahwa saya hanya seorang penulis yang ingin observasi dari dekat, terkait buku yang sedang saya tulis.

“Wartawan?” kejar salah seorang dari sekian banyak penguasa di komplek pelacuran murahan itu lagi.

Teman saya kembali menggeleng. “Cuma penulis.”

Meski begitu tetap saja si ‘Papi’ tampak ragu sebelum akhirnya memberikan izin. Meski sudah di-bolehkan, laki laki itu kembali khawatir ketika mengetahui bahwa saya berjilbab.

“Wah, apa kata para pelanggan sini?” cetus si Papi cemas, “Apa nggak bisa dia nyamar kali ini dan buka jilbab dulu?”

Teman saya mencoba meyakinkan, bahwa saya tidak akan menimbulkan masalah bagi bisnisnya di malam saya datang nanti.

Akhirnya dengan berat hati laki-laki gemuk itu pun mengizinkan.

Jadilah saya melakukan ‘perjalanan’ malam. Dan karena ini hal baru, saya benar-benar terbilang norak. Teman yang menyertai beberapa kali harus mengingatkan agar saya tidak memandang lekat, atau memelototi ‘pasangan-pasangan’ yang mojok di sisi-sisi yang temaram.

Ada yang mengobrol berdekatan sambil berdiri. Ada yang pangku-pangkuan. Ada tangan-tangan yang ‘gerilya’
ditingkahi tawa geli di tengah suara musik yang hingar bingar.

Tempat lokalisasi yang melewati rel kereta api, bermula dari sebuah gang kecil yang kumuh dan berakhir di sebuah jalan raya yang dipenuhi oleh gudang-gudang penyimpanan barang ekspedisi.

Kawasan ini relatif tidak jauh berbeda di siang hari.

Namun ketika malam merangkak, kursi-kursi panjang diletakkan melintangi jalur kereta api, setelah kereta api terakhir berlalu
Di atasnya terdapat banyak sekali botol minuman keras dan gelas-gelas berukuran tinggi.

Lapak-lapak judi koprok dan berbagai jenis rolet dengan hadiah uang atau beberapa bungkus rokok, dalam hitungan menit sudah terhampar serta dikerumuni ‘penggemarnya’.

Dengan cepat beberapa lelaki sudah asyik ngobrol dengan perempuan-perempuan yang rata-rata muda usia dan meramaikan kursi kayu panjang yang disediakan.

Sepanjang itu pula perempuan-perempuan muda berdiri, tersenyum, tertawa dan berusaha menggaet perhatian. Daya tarik mereka segera mendatangkan hasil. Kaum lelaki berbagai usia, bermacam suku dalam sekejap mengerubung seperti laron yang terpikat lampu neon.

Mereka yang ingin tempat nongkrong lebih tertutup bisa masuk ke dalam kedai-kedai minum dan memulai kencan di sana sebelum kemudian berlanjut ke kamar-kamar sempit berukuran 1,5 x 2 meter, setelah harga disepakati.

Uniknya lagi, keramaian di lokalisasi itu tidak berhenti, meski bulan Ramadhan datang.

“Tapi biasanya hanya malam, mbak… siangnya kan puasa.” Tutur seorang pelacur yang saya ajak bicara.

Selama obrolan, saya menekan kuat-kuat perasaan mual yang tiba-tiba melanda. Membayangkan begitu banyak lelaki yang menjadi pelanggan. Apa yang mereka lakukan di sana sungguh membuat saya ingin muntah.

Mual dan ketidakmengertian yang panjang.

Bagaimana lelaki bisa mudah berhubungan intim dengan perempuan yang tidak dia kenal? Saya tahu, kalimat itu bisa saja dibalikkan,

“Apa bedanya dengan para pelacur yang melakukan itu dengan lelaki asing?” Saya juga tahu, tidak bisa membela diri dengan:

Mereka terpaksa melakukannya, dengan alasan yang kuat. Mereka …bekerja.

Maafkan saya yang tanpa bermaksud menyoal perbedaan perempuan dan laki-laki, tetap saja melemparkan keheranan ini. Bagaimana lelaki bisa tergoda ke arah sana begitu mudah?

Dalam situasi normal, saya kira akan sulit bagi perempuan untuk membangunkan hasrat mereka hingga mampu melakukan hubungan fisik seperti itu dengan lawan jenis, tanpa cinta.

Tentu saja saya tidak mengatakan bahwa dengan cinta hal itu menjadi benar untuk dilakukan. Tidak. Hubungan yang halal tidak cukup hanya dilandasi cinta, melainkan juga harus berada dalam atap pernikahan. Saya hanya mempertanyakan pembelaan para lelaki yang ketahuan tidur dengan perempuan lain, seperti ini:

– Ini hanya sebuah kekeliruan kecil yang manusiawi…
– Terjadi begitu saja, tanpa saya sadari!
– Hubungan itu hanya sekali dan tidak berarti apa-apa, sayang!
– Cobalah mengerti. Ini cuma seks, bukan cinta!

Bahkan seorang teman menceritakan komentar suaminya, ketika mereka berandai-andai jika suami tidur dengan perempuan lain,